DISWANTARA - Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bustanul Arifin, menilai bahwa penurunan kelas menengah di Indonesia tidak sepenuhnya disebabkan oleh pandemi Covid-19. 

Menurutnya, permasalahan penurunan kelas menengah yang lebih mendasar terletak pada struktur ekonomi Indonesia yang mengalami ketidakselarasan selama beberapa dekade terakhir.

Baca Juga: Ini Bocoran Kriteria Pemakai BBM Subsidi Pekan Ini, yang Telah di Tentukan Jokowi.

Bustanul mengungkapkan bahwa penurunan kelas menengah merupakan cerminan dari kegagalan transformasi struktural ekonomi Indonesia. 

Proses deindustrialisasi yang terlalu dini, serta kurangnya kesinambungan dalam peralihan dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa, menjadi faktor utama yang menyebabkan banyak masyarakat kelas menengah turun ke tingkat ekonomi yang lebih rendah.

Baca Juga: Ada 62 Formasi Guru yang Paling Banyak Dibutuhkan di CPNS Kemenag 2024, Sudah Sesuai dengan Jurusanmu?.

"Saya sebut karena kegagalan transformasi struktural, deindustrialisasi yang terlalu dini dan ketidaktersambungan dalam proses transformasi struktural khususnya sektor pertanian, serta industri dan jasa," kata Bustanul dalam diskusi Indef bertajuk Kelas Menengah Turun Kelas pada 9 September 2024.

Bustanul menjelaskan bahwa transformasi ekonomi yang tidak sempurna ini menyebabkan kesulitan bagi masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. 

Baca Juga: Catat! Ini 9 Formasi CPNS IKN 2024 untuk Lulusan SMA dan SMK Sederajat, Berikut Dokumen Persyaratannya.

Akibatnya, daya beli masyarakat melemah, dan banyak dari mereka yang jatuh ke kelas ekonomi di bawahnya. 

Sejarah Deindustrialisasi di Indonesia

Kegagalan transformasi ini bukan masalah yang baru. 

Bustanul menyatakan bahwa proses deindustrialisasi di Indonesia telah dimulai sejak 1995, ketika kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai 41,8%. 

Baca Juga: 7 Pilihan Jam Tangan Paling Top 2024 dengan Harga Murah Cocok untuk Pria.

Namun, angka ini terus menurun seiring waktu. 

Pada 2005, kontribusi sektor manufaktur turun menjadi 38,5%, dan pada 2023, kontribusinya bahkan lebih kecil lagi, yaitu hanya 28,9%. 

Menurut Bustanul, tren penurunan ini menandakan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi sebelum ekonomi negara ini berhasil membangun fondasi yang kuat dalam sektor industri. 

"Secara teori, ini bukan proses pembangunan ekonomi yang baik," tegasnya.

Baca Juga: Mau Tau Caranya Mencari Postingan Lama di Facebook Seperti Foto dan Video Kenangan, Begini Caranya.

Solusi: Penguatan Sektor Pertanian dan Modernisasi Industri

Untuk membalikkan tren ini, Bustanul menggarisbawahi pentingnya memperbaiki sektor pertanian sebagai fondasi awal. Menurutnya, hanya dengan memperkuat sektor pertanian, Indonesia bisa memiliki ekonomi yang lebih tangguh, yang kemudian akan membuka jalan bagi pertumbuhan sektor industri manufaktur.

"Masa kita lihat pertanian masih gini-gini aja, gimana bisa kita jadi industrialisasi," kata dia. 

Baca Juga: Apakah 2024 Ada Subsidi Motor Listrik? Berikut 5 Rekomendasinya.

Bustanul menekankan bahwa transformasi ekonomi harus dimulai dari hulu dengan memperkuat sektor pertanian. 

Setelah sektor ini stabil, barulah Indonesia dapat berbicara tentang modernisasi sektor industri.

Selain itu, modernisasi industri juga menjadi kunci dalam memperkuat struktur ekonomi. Bustanul menambahkan bahwa setelah sektor industri diperkuat, barulah pemerintah bisa mulai memfokuskan diri pada digitalisasi dan pengembangan sektor industri kreatif lainnya.

Baca Juga: Catat! Ini 9 Formasi CPNS IKN 2024 untuk Lulusan SMA dan SMK Sederajat, Berikut Dokumen Persyaratannya.

"Hanya dengan pondasi perekonomian yang kuat, masyarakat kelas menengah bisa agile dan tangguh," ujar Bustanul. 

Hal ini menegaskan bahwa tanpa fondasi ekonomi yang kuat, kelas menengah akan terus berada dalam posisi rentan terhadap perubahan ekonomi, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19.

Dampak Pandemi dan Data dari BPS

Meskipun Bustanul menilai bahwa penyebab utama penurunan kelas menengah adalah kegagalan transformasi struktural, Badan Pusat Statistik (BPS) mengakui bahwa pandemi Covid-19 juga memiliki peran signifikan dalam fenomena ini. 

Baca Juga: 7 Sekolah Terbaik 2024 di Indonesia Tingkat SMA, Adakah SMA Pilihanmu?.

Menurut data BPS, selama periode 2019 hingga 2023, sekitar 9,48 juta orang dari kelas menengah turun ke tingkat ekonomi di bawahnya. 

Pandemi telah menyebabkan banyak pekerja kelas menengah kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan secara signifikan. 

Namun, seperti yang diungkapkan Bustanul, faktor struktural yang mendalam dalam perekonomian Indonesia juga berperan besar dalam melemahkan ketahanan ekonomi kelas menengah, sehingga mereka lebih rentan terhadap dampak krisis seperti pandemi.

Baca Juga: 23 Universitas di Indonesia Paling Banyak Lulusannya Dilirik BUMN, Bisa Dijadikan Referensi.

Penurunan kelas menengah di Indonesia bukan hanya hasil dari krisis pandemi, melainkan cerminan dari masalah struktural dalam perekonomian negara ini. 

Kegagalan transformasi ekonomi yang prematur dan deindustrialisasi dini telah menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan pekerjaan yang layak dan akhirnya jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah. 

Untuk memperbaiki situasi ini, pemerintah harus memulai dari penguatan sektor pertanian, diikuti dengan modernisasi sektor industri dan digitalisasi, agar ekonomi Indonesia bisa lebih tangguh dan berkelanjutan.